Pada dasarnya fundamentalisme adalah gerakan modern yang tidak bisa mengakar pada masa yang lain, kecuali masa fundamentalisme itu lahir, yaitu di abad ke 20.
Kaum fundamentalisme yakin bahwa mereka berjuang demi kelangsungan iman mereka di sebuah dunia yang secara inheren memusuhi agama (sekuler). Kejadian 11 september di AS, bagi Armstrong merupakan hasil dari gerakan fundamentalisme yang membenci modernisme. Serangan ini merupakan serangan kaum fundamentalis yang paling menghancurkan terhadap modernitas sekuler sampai sekarang, dan kaum teroris tidak mungkin memilih sasaran yang lebih bermakna. Belum pernah kaum fundamentalis lebih cerdik memanfaatkan media modern dari pada 11 September itu.
Orang Amerika telah dikejutkan oleh tabrakan pesawat terbang pertama yang menghujam menara selatan World Trade Center. Kaum fundamentalis menggunakan teknologi penerbangan modern untuk menghancurkan bangunan-bangunan megah yang tampaknya menjadi simbol modern. Dalam segala bentuknya, fundamentalisme adalah iman yang sangat reduktif.
Dalam kecemasan dan ketakutan mereka, kaum fundamentalis sering mendistorsi tradisi yang mereka bela. Misalnya, mereka sangat selektif dalam membaca Kitab Suci, tetapi mereka mengabaikan pluralitas al-Qur’ann dan mengutip ayat-ayat al-Qur’an untuk membenarkan kekerasan yang diperbuat. Mereka juga mengabaikan ayat yang jauh lebih banyak yang menyerukan perdamaian, toleransi, dan sikap memaafkan. Kaum fundamentalis yakin bahwa mereka berjuang atas nama Tuhan, tetapi sebenarnya religiusitas sejenis ini mewakili kemunduran dari Tuhan.
Inilah yang kemudian menimbulkan klaim negative, bahwa Islam telah mengajarkan kepada pengikutnya yang setia dan fanatik untuk melakukan tindakan-tindakan yang seperti itu sebagai wujud dari keimanan mereka pada agamanya. Sudah terlihat kenyataan bahwa orang-orang Islam yang begitu fanatik dalam memegangi ajarannya sampai-sampai tidak tersedia lagi ruang penafsiran atau pemahaman baru.
Kaum fundamentalisme menginterpretasikan bahwa seluruh doktrin agama merupakan hal yang universal dan berlaku tanpa batasan ruang dan waktu. Permainan pemikiran menjadi tidak begitu penting bagi ideologi ini. Fundamentalisme lebih menguatkan ketaatan dan kesediaan untuk menundukkan diri kepada kehendak Tuhan, bukan pada perbincangan intelektual. Ideologi ini lebih memilih beriman saja dari pada harus berdiskusi. Iman justru membuat orang mengerti dan bukan mengerti yang membuat orang beriman. Jadi menurut orang fundamentalis, lebih baik memelihara sikap gerakan militan dalam menegakkan agama daripada memelihara semangat intelektualisme yang cenderung membuat orang kehilangan waktu untuk beraksi.
Keekstreman mereka telah melenceng jauh, tidak saja melanggar hukum-hukum dasar agama yang mau mereka bela, tetapi juga menginjak prinsip-prinsip yang memotivasi kaum fundamentalis tradisional. Armstrong memperlihatkan bahwa ada sebuah nihilisme yang sudah tertanam pada bentuk-bentuk fundamentalisme dalam tiga agama monoteistik, Yahudi, kristen, dan Islam. Oleh karena itu menjadi semakin penting bagi kita untuk memahami apa yang ada di balik rasa putus asa yang mendalam terhadap modernitas dan apa yang mendorong kaum fundamentalis untuk bertindak seperti itu. Hanya sebagian kecil fundamentalisme yang melakukan teror, tapi sebagian besarnya sekadar mencoba untuk menghayati kehidupan beragama di dunia yang tampaknya bagi mereka memusuhi iman. Akan menjadi tragis jika ketidaktahuan kita yang terus-menerus itu mendorong kaum fundamentalis semakin banyak ke arah kekerasan.
Melihat sejarah di atas, gerakan kekerasan fundamentalis ini sebenarnya diarahkan pada sekularisme. Negara Islam yang pernah menjadi negara sekuler, yaitu di Mesir, Turki dan Iran serta India. Di negara tersebut proses sekularisasi sangat menegangkan. Peristiwa proses sekularisasi ini dilakukan dengan cara memaksa dan tidak bermoral. Sebagaimana contohnya peristiwa proses sekularisasi yang dilakukan pemerintahan Reza Pahlevi di Iran yang pro Barat. Pemerintahan ini memaksa rakyatnya untuk meniru tradisi sosial kebudayaan Barat secara dadakan dan memaksa, tanpa ada proses penyesuaian diri dengan undang-undang penyeragaman busana (1928) baru yang dibuat oleh Reza. Begitu jelas, kedangkalan berpikir Pahlevi dalam permasalahan ini. Ia memaksakan secara keras terhadap rakyatnya supaya meniru pakaian ala Barat. Pada tahun 1929 polisi mengepung madrasah Faiziyah di Qum untuk melucuti pakaian mereka supaya mengenakan busana Barat. Topi Barat yang lebar, tidak bisa dipakai untuk salat juga dipaksa untuk dikenakan. Tidak hanya itu, pada tahun 1935 ada peristiwa mengenaskan, yaitu demontstrasi menolak peraturan penyeragaman busana ala Barat terhadap pemerintahan Pahlevi. Ada insiden mengerikan di tempat suci imam ke deapan di Mashad. Ratusan demonstran tidak bersenjata ditembak mati dan dilukai ditempat itu. Tidak hanya peristiwa di Iran saja yang memicu lahirya balas demdam terhadap sekularisme. Di Turki dalam kepemimpinan Mustafa Kemal Ataturk juga menganut gaya sekularisme. Sekularisme sebagai ideologi negaranya banyak dikecam oleh kalangan pemikiran. Gerakan sekularisasi ini tidak dangkal tapi agresif. Ia berusaha mengkerdilakan syariat terlebih dahulu dan kemudian membaratkan Islam. Agama harus tuduk pada negara.
Dalam peristiwa ini, Karen Armstrong berkesimpulan bahwa sekularisasi di Timur Tengah dialami sebagai serangan yang keji dan dipaksakan. Oleh karenanya, “ketika kaum fundamentalis belakang hari mengklaim bahwa sekularisasi berarti perusakan Islam, mereka akan sering menunjuk contoh Ataturk atau Pahlevi. Barangkali tidak perlu heran jika banyak orang Islam takut terhadap sekularisasi sebagai kebijakan yang mematikan, direncanakan bukan untuk memberi kebebasan terhadap agama dari negara, melainkan untuk menghancurkan Islam. Mungkin juga kedua kejadian ini merupakan salah satu sebab munculnya benih-benih reaksi kekerasan Islam terhadap kebijakan suatu negara yang terlihat sekuler. Biasanya reaksi kekerasan ini mereka anggap sebagai jihad.
Setelah kebencian umat Islam yang tertindas terhadap golongan sekuler baru kemudian mereka mempunyai orientasi politik. Bagi mereka jangan sampai lagi sekuler menindas golongan Islam kecil yang fundamentalis. Islam fundamentalis yang anti sekuler harus mampu untuk memimpin pemerintahan, barangkali begitulah bayangan mereka. Dalam hal ini Karen Armstrong mencontohkah partai HAMAS yang memiliki ideologi fundamentalisme di Palestina. Awalnya HAMAS ini merupakan kelompok kecil yang merasa tidak puas dengan kebijakan pemerintahannya. Kemudian dari sebuah gerakan perlawanan, dan mereka berkembang hanya ketika kebijakan sekuler Yassir Arafa dan partainya Fatah terlihat tidak efektif dan korup. Bahkan kemudian pembantaian warga sipil Israel oleh partai HAMAS lebih dilatarbelakangi motivasi politis dari pada religius. HAMAS tidak berusaha memaksa seluruh dunia untuk tunduk kepada Islam. Partai ini hanya terbatas pada Israel saja.
Kaum fundamentalis sejauh ini berhasil ketika mereka mendesak agama dari garis samping dan kembali ke tengah, sehingga sekarang mereka memainkan kembali bagian terpenting dalam urusan-urusan internasional, sebuah perkembangan yang tak terbayangkan pada abad ke 20. Fundamentalisme bukan sekadar sebuah cara “menggunakan” agama untuk tujuan politik. Ini adalah pemberontakan yang penting melawan penyingkiran Tuhan oleh kaum sekuler dari kehidupan umum, dan seringkali merupakan usaha yang melelahkan untuk melihat nilai-nilai spiritual tetap menonjol di dunia modern. Tapi keputusan dan ketakuan yang mengorbankan semangat fundamentalis juga cenderung mengganggu tradisi religiusitas dan menekankan aspek aspek agresifnya dengan mengorbankan mereka yang memuja tenggang rasa dan kerukunan.
Namun bagi Armstrong, fundamentalisme merupakan salah satu gerakan percobaan modern dan gerakan itu menikmati keberhasilan dengan menghadirkan kembali agama ke agenda internasional. Sayangnya, fundamentalisme seringkali mengabaikan beberapa nilai paling keramat agama-agama formal. Kaum fundamentalis telah mengubah mitos-mitos agama mereka menjadi logos, entah dengan menegaskan bahwa dogma-dogma mereka itu benar secara ilmiah, atau hanya dengan mengubah mitologi komplek mereka menjadi sebuah ideologi yang ramping. Amarah kaum fundamentalis mengingatkan manusia bahwa budaya modernnya menimpakan tuntuntan-tuntutan yang luar biasa sulit. Oleh karenanya Armstrong menyebutkan bahwa Barat tidak akan mendapatkan peluang untuk mengubah hati dan pemikiran umat Islam yang jumlahnya sekita 1,3 Milyar di dunia jika 7 persen (91 juta) politik radikalnya tetap merasa didominasi secara politik, diduduki, dan tidak dihorati secara budaya dan agama.
0 comments:
Post a Comment