Wednesday, 10 December 2014

Karen Armstrong pandangan terhadap Fundamentalisme

21:44 Posted by Dziki No comments

Pada  dasarnya  fundamentalisme  adalah  gerakan  modern  yang tidak  bisa  mengakar  pada  masa  yang  lain,  kecuali  masa fundamentalisme itu lahir, yaitu di abad ke 20.


 Kaum fundamentalisme  yakin  bahwa  mereka  berjuang  demi  kelangsungan  iman  mereka  di sebuah dunia yang secara inheren memusuhi agama (sekuler). Kejadian 11  september  di  AS,  bagi  Armstrong  merupakan  hasil  dari  gerakan fundamentalisme  yang  membenci  modernisme.  Serangan  ini merupakan serangan kaum fundamentalis yang paling menghancurkan terhadap  modernitas  sekuler  sampai  sekarang,  dan  kaum  teroris  tidak mungkin  memilih  sasaran  yang  lebih  bermakna.  Belum  pernah  kaum fundamentalis lebih cerdik memanfaatkan media modern dari pada 11 September  itu.

Orang Amerika telah dikejutkan oleh tabrakan pesawat terbang pertama yang menghujam menara selatan World Trade Center. Kaum  fundamentalis  menggunakan  teknologi  penerbangan  modern untuk  menghancurkan  bangunan-bangunan  megah  yang  tampaknya menjadi simbol modern. Dalam  segala  bentuknya, fundamentalisme  adalah  iman  yang sangat  reduktif.

Dalam  kecemasan  dan  ketakutan  mereka,  kaum fundamentalis  sering  mendistorsi  tradisi  yang  mereka  bela.  Misalnya, mereka  sangat  selektif  dalam  membaca  Kitab  Suci,  tetapi  mereka mengabaikan  pluralitas  al-Qur’ann  dan  mengutip  ayat-ayat  al-Qur’an untuk  membenarkan  kekerasan  yang  diperbuat.  Mereka  juga mengabaikan ayat yang jauh lebih banyak yang menyerukan perdamaian, toleransi, dan sikap memaafkan. Kaum fundamentalis yakin bahwa mereka berjuang atas nama Tuhan, tetapi sebenarnya religiusitas sejenis ini mewakili kemunduran dari Tuhan.

Inilah yang kemudian menimbulkan klaim negative, bahwa  Islam telah  mengajarkan  kepada  pengikutnya  yang  setia  dan  fanatik  untuk melakukan  tindakan-tindakan  yang  seperti  itu  sebagai  wujud  dari keimanan  mereka  pada  agamanya.  Sudah  terlihat  kenyataan  bahwa orang-orang  Islam  yang  begitu  fanatik  dalam  memegangi  ajarannya sampai-sampai  tidak  tersedia  lagi  ruang  penafsiran  atau  pemahaman baru.

Kaum  fundamentalisme  menginterpretasikan  bahwa  seluruh doktrin agama merupakan hal yang universal dan berlaku tanpa batasan ruang  dan  waktu.  Permainan  pemikiran  menjadi  tidak  begitu  penting bagi  ideologi  ini.  Fundamentalisme  lebih  menguatkan  ketaatan  dan kesediaan  untuk  menundukkan  diri  kepada  kehendak  Tuhan,  bukan pada perbincangan intelektual. Ideologi ini lebih memilih beriman saja dari pada harus  berdiskusi. Iman justru membuat orang mengerti dan bukan  mengerti  yang  membuat  orang  beriman.  Jadi  menurut  orang fundamentalis,  lebih  baik  memelihara  sikap  gerakan  militan  dalam menegakkan  agama  daripada  memelihara  semangat  intelektualisme yang cenderung membuat orang kehilangan waktu untuk beraksi.

Keekstreman mereka telah melenceng jauh, tidak saja melanggar hukum-hukum  dasar  agama  yang  mau  mereka  bela,  tetapi  juga menginjak  prinsip-prinsip  yang  memotivasi  kaum  fundamentalis tradisional. Armstrong memperlihatkan  bahwa  ada  sebuah  nihilisme yang sudah tertanam pada bentuk-bentuk fundamentalisme dalam tiga agama  monoteistik,  Yahudi,  kristen,  dan  Islam.  Oleh  karena  itu menjadi semakin penting bagi kita untuk memahami apa yang ada di balik rasa putus asa yang mendalam terhadap modernitas dan apa yang mendorong  kaum  fundamentalis  untuk  bertindak  seperti  itu.  Hanya sebagian  kecil  fundamentalisme  yang  melakukan  teror,  tapi  sebagian besarnya  sekadar  mencoba  untuk  menghayati  kehidupan  beragama  di dunia  yang  tampaknya  bagi  mereka  memusuhi  iman. Akan  menjadi tragis jika ketidaktahuan kita yang terus-menerus itu mendorong kaum fundamentalis semakin banyak ke arah kekerasan.

Melihat  sejarah  di  atas,  gerakan  kekerasan  fundamentalis  ini sebenarnya  diarahkan  pada  sekularisme.  Negara  Islam  yang  pernah menjadi negara sekuler, yaitu di Mesir, Turki dan Iran serta India. Di negara  tersebut  proses  sekularisasi  sangat  menegangkan.  Peristiwa proses  sekularisasi  ini  dilakukan  dengan  cara  memaksa  dan  tidak bermoral.  Sebagaimana  contohnya  peristiwa  proses  sekularisasi  yang dilakukan  pemerintahan  Reza  Pahlevi  di  Iran  yang  pro  Barat. Pemerintahan  ini  memaksa  rakyatnya  untuk  meniru  tradisi  sosial kebudayaan  Barat  secara  dadakan  dan  memaksa,  tanpa  ada  proses penyesuaian diri dengan undang-undang penyeragaman busana (1928) baru yang dibuat oleh Reza. Begitu jelas, kedangkalan berpikir Pahlevi dalam  permasalahan  ini.  Ia  memaksakan  secara  keras  terhadap rakyatnya  supaya  meniru  pakaian  ala  Barat.  Pada  tahun  1929  polisi mengepung madrasah Faiziyah di Qum untuk melucuti pakaian mereka supaya  mengenakan  busana  Barat.  Topi  Barat  yang  lebar,  tidak  bisa dipakai  untuk  salat  juga  dipaksa  untuk  dikenakan.  Tidak  hanya  itu, pada  tahun  1935  ada  peristiwa  mengenaskan,  yaitu  demontstrasi menolak  peraturan  penyeragaman  busana  ala  Barat  terhadap pemerintahan Pahlevi. Ada insiden mengerikan di tempat suci imam ke deapan  di  Mashad.  Ratusan  demonstran  tidak  bersenjata  ditembak mati dan dilukai ditempat itu. Tidak hanya peristiwa di Iran saja yang memicu  lahirya  balas  demdam  terhadap  sekularisme.  Di  Turki  dalam kepemimpinan  Mustafa  Kemal  Ataturk  juga  menganut  gaya sekularisme.  Sekularisme  sebagai  ideologi  negaranya  banyak  dikecam oleh  kalangan  pemikiran.  Gerakan  sekularisasi  ini  tidak  dangkal  tapi agresif.  Ia  berusaha  mengkerdilakan  syariat  terlebih  dahulu  dan kemudian membaratkan Islam. Agama harus tuduk pada negara.

Dalam  peristiwa  ini,  Karen  Armstrong  berkesimpulan  bahwa sekularisasi  di  Timur  Tengah  dialami  sebagai  serangan  yang  keji  dan dipaksakan. Oleh karenanya, “ketika kaum fundamentalis belakang hari mengklaim  bahwa  sekularisasi  berarti  perusakan  Islam,  mereka  akan sering menunjuk contoh Ataturk atau Pahlevi. Barangkali tidak perlu heran  jika  banyak  orang  Islam  takut  terhadap  sekularisasi  sebagai kebijakan  yang  mematikan,  direncanakan  bukan  untuk  memberi kebebasan  terhadap  agama  dari  negara,  melainkan  untuk menghancurkan  Islam.  Mungkin  juga  kedua  kejadian  ini  merupakan salah  satu  sebab  munculnya  benih-benih  reaksi  kekerasan  Islam terhadap  kebijakan  suatu  negara  yang  terlihat  sekuler.  Biasanya  reaksi kekerasan ini mereka anggap sebagai jihad.

Setelah kebencian umat  Islam yang tertindas  terhadap golongan sekuler  baru  kemudian  mereka  mempunyai  orientasi  politik.  Bagi mereka jangan sampai lagi sekuler menindas golongan Islam kecil yang fundamentalis.  Islam fundamentalis  yang  anti  sekuler  harus  mampu untuk  memimpin  pemerintahan,  barangkali  begitulah  bayangan mereka.  Dalam  hal  ini  Karen  Armstrong  mencontohkah  partai HAMAS  yang  memiliki  ideologi  fundamentalisme  di  Palestina.  Awalnya  HAMAS  ini  merupakan  kelompok  kecil  yang  merasa  tidak puas  dengan  kebijakan  pemerintahannya.  Kemudian  dari  sebuah gerakan  perlawanan,  dan  mereka  berkembang  hanya  ketika  kebijakan sekuler  Yassir  Arafa  dan  partainya  Fatah  terlihat  tidak  efektif  dan korup.  Bahkan  kemudian  pembantaian  warga  sipil  Israel  oleh  partai HAMAS  lebih  dilatarbelakangi  motivasi  politis  dari  pada  religius. HAMAS tidak berusaha memaksa seluruh dunia untuk tunduk kepada Islam. Partai ini hanya terbatas pada Israel saja.

Kaum fundamentalis sejauh ini berhasil ketika mereka mendesak agama  dari  garis  samping  dan  kembali  ke  tengah,  sehingga  sekarang mereka  memainkan  kembali  bagian  terpenting  dalam  urusan-urusan internasional, sebuah perkembangan yang tak terbayangkan pada abad ke  20.  Fundamentalisme  bukan  sekadar  sebuah  cara  “menggunakan” agama  untuk  tujuan  politik.  Ini  adalah  pemberontakan  yang  penting melawan  penyingkiran  Tuhan  oleh  kaum  sekuler  dari  kehidupan umum,  dan seringkali  merupakan  usaha  yang  melelahkan  untuk melihat  nilai-nilai  spiritual  tetap  menonjol  di  dunia  modern.  Tapi keputusan dan ketakuan yang mengorbankan semangat fundamentalis juga cenderung mengganggu tradisi religiusitas dan menekankan aspek aspek agresifnya dengan mengorbankan mereka yang memuja tenggang rasa dan kerukunan.

Namun bagi Armstrong, fundamentalisme merupakan salah satu gerakan  percobaan  modern  dan  gerakan  itu  menikmati  keberhasilan dengan  menghadirkan  kembali  agama  ke  agenda  internasional.  Sayangnya,  fundamentalisme  seringkali  mengabaikan  beberapa  nilai paling  keramat  agama-agama  formal.  Kaum  fundamentalis  telah mengubah  mitos-mitos  agama  mereka  menjadi  logos,  entah  dengan menegaskan bahwa dogma-dogma mereka itu  benar secara ilmiah, atau hanya  dengan  mengubah  mitologi  komplek  mereka  menjadi  sebuah ideologi  yang  ramping.  Amarah  kaum  fundamentalis  mengingatkan manusia  bahwa  budaya  modernnya  menimpakan  tuntuntan-tuntutan yang luar biasa sulit. Oleh karenanya Armstrong menyebutkan bahwa Barat  tidak  akan  mendapatkan  peluang  untuk  mengubah  hati  dan pemikiran umat Islam yang jumlahnya sekita 1,3 Milyar di dunia jika 7  persen  (91  juta)  politik  radikalnya  tetap  merasa  didominasi  secara politik, diduduki, dan tidak dihorati secara budaya dan agama.





0 comments: