Fundamentalisme baik Yahudi, Kristen, maupun Islam jarang muncul dengan pertarungan dari luar, ia biasanya bermula dari sebuah pergulatan internal agama mereka sendiri di mana kaum tradisionalis memerangi kawan-kawan seagama mereka sendiri yang cenderung sekuler.
Secara naluriah kaum fundamentalis seringkali menanggapi modernitas yang menggerogoti ini dengan menciptakan enclave iman murni. Ini menandakan penarikan diri dari dunia tak ber-Tuhan ke dalam komunitas yang mencukupi dirinya sendiri, dimana kaum beriman berusaha menata ulang eksistensi sebagai perlawanan perubahan dari luar. Jadi pada intinya, hal ini merupakan gerakan pertahanan. Akan tetapi di dalam gerakan yang terlihat mundur ini terdapat potensi serangan balik dimasa depan.Armstrong memiliki dua tinjauan objektif dalam melihat gerakan fundamentalisme. Pertama, perlu disadari bahwa ideologi gerakan ini berakar dari ketakutan untuk menghindari sekularisme yang dikhawatirkan akan melenyapkan mereka, maka dilahirkan rumusan doktrin-doktrin, mendirikan penghalang dan pembatas-pembatas. Dunia modern yang tampak menggairahkan bagi orang liberal terlihat tak ber-Tuhan dan tak bermakna. Kedua, diperlukan penyadaran bahwa gerakan ini bukanlah sebuah hal kuno yang datang dari masa lampau; mereka adalah gerakan modern, inovatif, dan memodernkan. Mereka membaca dasar-dasar keagamaan mereka dengan rasional.
Jika dilihat dari sisi sosiologi keagamaan, pengekangan agama bisa melahirkan fundamentalisme. Ambil saja studi kasus negara yang tersekulerkan oleh pengaruh kolonialisme Barat, yaitu Mesir, Iran, dan Turki. Pemerintahan sekuler Turki dan Iran pernah melakukan penutupan madrasah dan memaksa masyarakatnya untuk meniru budaya asing. Hal ini tak pelak lagi telah menjatuhkan otoritas ulama.
Kalangan terdidik, cerdas, dan bertanggungjawab dalam Islam semakin menipis; satu-satunya bentuk agama yang tersisa adalah sufisme bawah tanah. Sudah tentu mereka yang sudah berdiri dari sekian lama, kemudian dipaksa dan dikekang tanpa ada proses penyesuaian diri dengan budaya sekuler, mereka akan melakukan perlawanan. Mereka akan memberontak untuk memperjuangkan apa yang sudah dirobohkan dengan paksa. Pada akhinya, Armstrong memberi pandangan umum bahwa kaum Muslim mengalami modernitas sebagai penyerbu, asing, dan tak terpisahkan dari penjajahan dan dominasi asing. Mereka terpaksa menyesuaikan dengan kebudayaan yang kata kuncinya adalah kebebasan, sementara mereka sendiri sedang mengalami penindasan politik.
Kolonialisme sekuler adalah penyebab radikalisasi Muslim yang ingin mempertahankan eksistensinya, khususnya eksistensi agamanya yang suci. Kaum Muslim di Mesir dan di Iran mengalami modernitas pertama-tama dalam bentuk yang agresif, menyerang, dan eksploitatif tidak seperti di India. Sekarang Barat telah terbiasa mendengar kaum fundamentalis Muslim mengecam dengan pedas kebudayaan mereka.
Ada pengandaian bahwa Islam itu bertentangan dengan apa saja yang dibela oleh Barat. Namun kenyataannya tidak demikian. Sebenarnya, di bawah dorongan spiritualnya sendiri, kaum Muslim sampai pada banyak gagasan dan nilai yang serupa dengan pemahaman modern Barat. Mereka telah mengembangkan pemahaman akan kebijaksanaan memisahkan agama dan politik dan visi kebebasan intelektual individu dan melihat perlunya pemupukan pemikiran rasional. Perhatian dalam al-Qur’an bagi keadilan dan persamaan tidak kalah sakral dalam etos Barat modern. Oleh karena itu banyak kalangan Muslim yang tergairahkan juga oleh Barat. Hal ini dapat dilihat bahwa orang Eropa dan Muslim memiliki nilai-nilai yang sama, meskipun Eropa jelas melangkah lebih jauh untuk mengubah masyarakat yang lebih efisien, dinamis, dan kreatif.
Berbeda halnya dengan Islam di India. Proses gerakannya tidak seagresif Mesir dan Iran dalam melawan imperialisme.
Pada bahasan selanjutnya, akan dibahas penjelasan lahirnya fundamentalisme Islam dari negara yang pernah disekulerkan oleh pemerintahan, yaitu negara Mesir dan Iran, serta India.
0 comments:
Post a Comment