Melanjutkan dari Post sebelumnya yaitu Faktor-faktor tumbuhnya fundamentalisme, Disini akan sedikit diulas faktor kemunculan muslim fundamentalis di Tiga Negara yang mengalami masa transisi sekuler yang pahit, yang menanamkan bibit bibit fundamentalis yang tumbuh mengakar subur nantinya.
1. Faktor Kemuculan Islam Fundamentalis di India
Pasca runtuhnya kerajaan Mughal, India adalah negara yang sama-sama mengalamipenyakit imperialisme, sebagai mana Mesir dan Iran. Inggris telah menjajah India yang dihuni oleh dua agama besar, yaitu agama Hindu dan Islam. Dalam menyikapi penjajah ini dilakukuan berbagai gerakan yang untuk menetralisir keberadaan penjajah. Ada yang menyikapinya dengan pro-Inggris dan ada pula yang kontra.
Sejak Inggris menguasai pemerintahan, kelompok Barelwis dan ulama Farangi Mahall menerima pemerintahan Inggris. Namun di balik sikap pronya terhadap Inggris, kelompok ini juga mentransmisikan keyakinan dan praktik tradisional, termasuk penghormatan terhadap syari’at. Respons berikutnya diterapkan oleh Aligarh dan Liga Muslim yang bergerak pada tataran penyerapan sains Barat dan pembentukan sebuah identitas politik Muslim yang modern. Respons terakhir ini yang kemudian mengantarkan pada terbentuknya negara baru, Pakistan.
Di balik semua respons di atas, ada dinamika tersirat dalam merespons pemerintahan asing. Respons terhadap pemerintahan asing ini ditandai dengan peperangan tiga pihak, yaitu sesama Muslim, antara Islam dan Hindu, dan antara Islam dan Inggris. Peperangan ini adalah proses tujuan jangka panjang, yakni mengenai masa depan politik dan kultur India.
Berikutnya juga ada pemberontakan Muntiny (1857) oleh kalangan Muslim yang disebabkan oleh akumulasi pemerintahan Inggris. Sayangnya pemberontakan ini mengalami kekalahan. Para pemberontak ditumpas secara kejam sehingga tidak mudah terlupakan.
Walaupun demikian pasca pemberontakan ini, ada tokoh terkenal yang tetap memilih untuk menerima pemerintahan Inggris. Tokoh tersebut adalah Sayyid Akhmad Khan. Ia masih berharap pemerintahan Inggris agar bergaul secara baik dengan bangsa India.
Sementara Sayyid Amir Ali hanyalah seorang apolog belaka yang membela Islam dari isu-isu negatif baik dari luar ataupun dari dalam. Ia tidak melakukan budaya tanding agresif terhadap pemerintahan Inggris.
Tokoh popular berikutnya adalah Muhammad Iqbal. Ia adalah seorang sosialis yang menganjurkan solidaritas. Ciri khas gerakannya adalah evolusioner dan bukan revolusioner sebagaimana dilakukan Mustafa Kemal.
Sementara ketika Muhammad Ali Jinnah menjabat sebagai pemimpin Partai Liga Islam pada tahun 1934, anggaran dasar partainya dirubah dengan corak yang lebih hidup dan demokratis.
Setelah ia menang (1945) terhadap “pesta demokrasi” yang diadakan oleh Inggris pada saat itu Jemaat Islam tidak ikut karena Inggris dianggap kafir. Ia mendeklarasikan berdirinya negara Pakistan.
Sayangnya Jemaat Islam menentang keras program Liga Muslim, karena ia memandang Partai Liga Muslim sebagai kolaborator dalam perencanaan Inggris untuk memecah belah bangsa India dan menahan kemerdekaan India. Jemaat ini juga menentang keras sekularisme tokoh-tokoh intelek yang ada dalam partai tersebut. Mereka begitu meragukan negara tersebut walaupun itu dinamakan negara Islam. Hal ini terlihat dari pandangan Partai Liga Muslim yang menganggap
keamanan politik Muslim India merupakan pertimbangan utama, sedangkan mengenai konsep dan praktek merupakan permasalah yang sekunder.
Proyek Pakistan terlihat program elit sekuler yang berasaskan nasional demokrasi. Walaupun sama-sama beridentitas Islam, tapi kali ini akan menjadi rival bagi Muslim fundamentalis.
2. Faktor Kemuculan Islam Fundamentalis di Mesir
Sudah sekian banyak gerakan nasionalisme dilakukan di Mesir untuk membersihkan diri dari penjajahan Inggris. Nasionalisme yang terjadi di Mesir, bagi penulis ada dua tahapan, yaitu nasionalisme sekuler dan nasionalisme religius. Yang dimaksud nasionalisme sekuler adalah gerakan nasional yang tidak berdasarkan Islam sepenuhnya dan masih pro-ideologi Barat, khususnya ideologi yang disampaikan Ali Abd al-Raziq dan Lutfi al-Sayyid, para murid Muhammad Abduh. Sementara nasionalisme religius (fundamentalisme) merupakan gerakan nasional yang sama sekali menghilangkan unsur-unsur Barat di dalamnya dan murni gerakan nasional agama Islam, seperti gerakan Sayyid Qutb.
Tokoh lainnya terlihat moderat-moderat saja. Hassan al-Banna (1906-49) menemukan cara mengubah pembaruan tokoh-tokoh di atas menjadi sebuah gerakan massa. Ia tahu bahwa Mesir membutuhkan sains dan teknologi Barat; bahwa Barat harus dimodernisasi secara politik, sosial, dan ekonomi. Ini adalah masalah praktis yang harus disertai dengan pembaruan rohani dan kejiwaan, yaitu kembali pada prinsip al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam gerakannya al-Banna senantiasa menegaskan bahwa ia tidak memiliki niatan untuk mengkudeta atau merebut kekuasaan. Tujuan utama alIkhwan al-Muslimun adalah pendidikan. Menurutnya ketika rakyat telah menyerap pesan Islam dan membiarkannya mengubah mereka, maka Mesir menjadi negara yang Islami tanpa melalui kekerasan.
Banna tidak menghendakai al-Ikhwân al-Muslimun menjadi keras atau radikal, ia hanya sangat menaruh perhatian pada pembaruan fundamental masyarakat Muslim yang telah digerogoti penjajahan dan tercerabut dari akarnya.
Kelemahan al-Banna dalam memimpin al-Ikhwan al-Muslimun adalah tidak mampu mengkordinir anggotanya yang begitu banyak.
Sehingga pada tahun 1943 muncul sempalan kelompok yang bernama “aparat rahasia” (al-hijaz al-sirra) yang dianggap teroris oleh Karen Armstrong. Menurut Richard P. Mitchell, dijelaskan oleh Armstrong bahwa kelompok itu hanya berjumlah sekitar seribu anggota dan anggota al-Ikhwan al-Muslimun tidak pernah mendengar keberadaannya hingga hari ini. Barangkali kelompok ini adalah respons atas kebijakan Anwar Sadat yang mendirikan “perserikatan pembunuh” pada akhir 1940-an untuk menyerang Inggris dan politikus-politikus yang dianggap “berkomplot” dengan Inggris. 1948 anggota unit teroris “aparat rahasia” memulai kampanye teror yang berawal dengan pembunuhan Ahmed al-Khazinder, seorang hakim.
Kemudian pada musim panas mereka melakukan serbuan ganas dan pengeboman distrik Yahudi di Kairo dan puncaknya adalah pembunuhan perdana menteri Muhammad al-Nuqrasyi.
Al-Ikhwan al-Muslimun yang tidak satu komando ini akhirnya berhasil dibubarkan pada tahun 1948 dengan sadis, tapi lahir kembali pada 1950 bertepatan pada masa pemerintahan Jamal Abd al-Nasser (1918-70) yang telah menggulingkan rezim lama dengan kudeta militer.
Rezim Nasser menganut paham sosialis dan sangat ingin membangun hubungan dengan Soviet. Kebijakan luar negerinya adalah pan Arab dan menekankan solidaritas Mesir dengan negara Asia dan Afrika. Nasser juga seorang sekularis yang teguh, tak satupun termasuk agama boleh dibiarkan mengganggu kepentingan nasional.
Awal-awal Nasser menyanjung al-Ikhwan al-Muslimun karena ia butuh mereka dalam hal retorika Islamnya. Namun kemudian retorika al-Ikhwan al-Muslimun terlalu populis dan terkesan menyeleweng dari kehendak Nasser, pada akhirnya Nasser membubarkan al-Ikhwan al-Muslimun pada 1954 dengan alasan bahwa mereka merencanakan revolusi tandingan.
Sekelompok al-Ikhwan al-Muslimun menjadi gerakan bawah tanah dan pemerintah mulai mengumbar kampanye kotor yang menuduh alIkhwan al-Muslimun mempunyai senjata ilegal dan berkomplot dengan Inggris.
Tapi kemenganannya atas al-Ikhwan al-Muslimun pada akhrinya terbukti sia-sia. Al-Ikhwan al-Muslimun yang tinggal di kamp-kamp selama hidup Nasser telah mengalami serangan sekularisme yang paling agresif. Dengan demikian akan terlihat bahwa di dalam kamp-kamp itulah beberapa al-Ikhwan al-Muslimun meninggalkan visi reformis al-Banna dan menciptakan fundamentalisme Sunni baru yang keras (fundamentalisme Islam Mesir). Tokoh utamanya adalah Sayyid Qutb.
3. Faktor Kemuculan Islam Fundamentalis di Iran
Kalau Mesir berkeyakinan bahwa rahasia keberhasilan Eropa adalah nasionalisme. Masyarakat Iran pada awal abad kedua puluh berpendapat bahwa rahasia ini adalah pemerintahan yang konstitusional. Berbeda dengan ulama Mesir yang menarik diri secara defensif ke dalam dunia madrasah, para ulama Iran sering berada di garda depan perubahan dan akan terus memiliki peran menentukan dalam peristiwa yang akan datang.
Pakar-pakar lain mengutarakan bahwa dalam mempromosikan konstitusi yang akan membatasi kekuasaan para Syah, ulama yang lebih liberal memenuhi kewajiban Syi’ah kuno, yakni melawan tirani. Salah satu orang pertama yang melihat bahaya sekularisasi ini, negara berlandaskan konstitusi adalah Syaikh Fadlullah Nuri (1843-1909), satu dari tiga tokoh agama terkemukan di Teheran yang mulai bergerak melawan konstitusi pada 1907; ia mengatakan bahwa karena semua pemerintah tidak sah selama ketidakhadiran Imam Gaib, parlemen baru itu tidak islami. Nuri menuntut setidaknya majelis harus mendasarkan keputusan pada syari’at. Perlawanan paling mematikan terhadap konstitusi itu bukan dari ulama, melainkan dari Syah baru yang dengan bantuan brigade Kosak Rusia, memimpin kudeta yang berhasil pada tahun 1908 dan membubarkan majelis; para pembaru Iran yang paling radikal dan ulama dieksekusi.
Di sisi lain Syah Reza Pahlevi pada saat jadi pemimpin tidak mempunyai minat dalam pembaruan sosial. Tidak ada keprihatinan terhadap orang miskin. Ia hanya memperkuat tentara darat dan birokrasi, dan menjadikan Iran berfungsi lebih efektif. Reza mendekati Soviet dan Amerika untuk mengusir Inggris dengan jaminan minyak kepada Standard Oil Company di New Jersey. Maksud awal Reza adalah membangun sebuah republik, tapi tidak disetujui olek beberapa kalangan sebab tidak sesuai dengan Islam dan tidak mau meniru Turki.
Reza tidak keberatan menjadi Syah dan masih mengmbil hati para agamawan. Ia berjanji bahwa pemerintahannya akan menghormati Islam dan bahwa undang-undangnya tidak bertentangan dengan syara’at. Setelah itu didirikan dinasti Pahlevi, tapi kemudian saat Reza mampu melanggar janjinya kepada ulama, dan bukan saja menyamai Turki, bahkan melampaui sekularisasi Attartuk dengan tidak kenal ampun.
Pada akhir dekade abad ke 20 sekularisme tampaknya menang. Tetapi benih-benih yang telah ditebar selama tahun-tahun ini akan berakar ketika sejumlah pembatasan percobaan sekularis modern ini menjadi nyata.
Jadi, rakyat Iran juga mengalami serangan sekularis yang kejam oleh Syah Reza. Rakyatnya selalu dipaksa untuk mengikuti budaya westernis. Seperti inilah yang kemudian menyuburkan gerakan fundamentalis. Memang gerakan itu tidak tumbuh selama periode ini tapi terjadi empat hal yang meramalkan perkembangan-perkembangan berikutnya.
0 comments:
Post a Comment