Saturday, 13 December 2014

Faktor Kemunculan Muslim Fundamentalis Di Tiga Negara Islam (tersekulerkan)

23:50 Posted by Dziki No comments

Melanjutkan dari Post sebelumnya yaitu Faktor-faktor tumbuhnya fundamentalisme, Disini akan sedikit diulas faktor kemunculan muslim fundamentalis di Tiga Negara yang mengalami masa transisi sekuler yang pahit, yang menanamkan bibit bibit fundamentalis yang tumbuh mengakar subur nantinya.

  

1.  Faktor Kemuculan Islam Fundamentalis di India


Pasca runtuhnya kerajaan Mughal, India adalah negara yang sama-sama mengalamipenyakit imperialisme, sebagai mana Mesir dan Iran. Inggris telah  menjajah India yang dihuni oleh dua agama besar, yaitu agama Hindu dan Islam.  Dalam menyikapi penjajah ini dilakukuan berbagai gerakan yang untuk  menetralisir keberadaan penjajah. Ada yang menyikapinya dengan pro-Inggris dan ada pula yang kontra.
Sejak Inggris menguasai pemerintahan, kelompok Barelwis dan ulama Farangi Mahall menerima pemerintahan Inggris. Namun di balik sikap pronya terhadap  Inggris, kelompok ini juga mentransmisikan keyakinan dan praktik tradisional,  termasuk penghormatan terhadap syari’at. Respons berikutnya diterapkan oleh Aligarh dan Liga Muslim yang bergerak pada tataran penyerapan sains Barat dan  pembentukan sebuah identitas politik Muslim yang modern. Respons terakhir ini yang kemudian mengantarkan pada terbentuknya negara baru, Pakistan.
Di balik semua respons di atas, ada dinamika tersirat dalam merespons pemerintahan asing. Respons terhadap pemerintahan asing ini ditandai dengan peperangan tiga pihak, yaitu sesama Muslim, antara Islam dan Hindu, dan antara Islam dan Inggris. Peperangan ini adalah proses tujuan jangka panjang, yakni mengenai masa depan politik dan kultur India.
Berikutnya juga ada pemberontakan Muntiny  (1857)  oleh kalangan Muslim yang disebabkan oleh akumulasi pemerintahan Inggris. Sayangnya pemberontakan ini  mengalami kekalahan. Para pemberontak ditumpas secara kejam sehingga tidak  mudah terlupakan.
Walaupun demikian pasca pemberontakan ini, ada tokoh terkenal yang tetap  memilih untuk menerima pemerintahan Inggris. Tokoh tersebut adalah Sayyid  Akhmad Khan. Ia masih berharap pemerintahan Inggris agar bergaul secara baik  dengan bangsa  India.
Sementara Sayyid Amir Ali hanyalah seorang apolog belaka yang membela Islam dari isu-isu negatif baik dari luar ataupun dari dalam. Ia tidak melakukan budaya  tanding agresif terhadap pemerintahan Inggris.
Tokoh popular berikutnya adalah Muhammad Iqbal. Ia adalah seorang sosialis  yang menganjurkan  solidaritas. Ciri khas gerakannya adalah evolusioner dan  bukan revolusioner sebagaimana dilakukan Mustafa Kemal.
Sementara ketika Muhammad Ali Jinnah menjabat sebagai pemimpin Partai Liga Islam pada tahun 1934, anggaran dasar partainya dirubah dengan corak yang lebih  hidup dan demokratis.
Setelah ia menang  (1945) terhadap “pesta demokrasi” yang diadakan oleh  Inggris pada saat itu Jemaat Islam tidak ikut karena Inggris dianggap kafir. Ia mendeklarasikan berdirinya negara Pakistan.
Sayangnya Jemaat Islam menentang keras program Liga Muslim, karena ia  memandang Partai Liga Muslim sebagai kolaborator dalam perencanaan Inggris untuk memecah belah bangsa India dan menahan kemerdekaan India. Jemaat ini  juga menentang keras sekularisme tokoh-tokoh intelek yang ada dalam partai  tersebut. Mereka begitu meragukan negara tersebut walaupun itu dinamakan negara Islam. Hal ini terlihat dari pandangan Partai Liga Muslim yang  menganggap
keamanan politik Muslim India merupakan pertimbangan utama, sedangkan mengenai konsep dan praktek merupakan permasalah yang sekunder.
Proyek Pakistan terlihat program elit sekuler yang berasaskan nasional demokrasi.  Walaupun sama-sama beridentitas Islam, tapi kali ini akan menjadi rival bagi Muslim fundamentalis.

2.  Faktor Kemuculan Islam Fundamentalis di Mesir


Sudah sekian banyak gerakan nasionalisme dilakukan di Mesir untuk membersihkan diri dari penjajahan Inggris. Nasionalisme yang terjadi di Mesir, bagi penulis ada dua tahapan, yaitu nasionalisme sekuler dan nasionalisme  religius.  Yang dimaksud nasionalisme sekuler adalah gerakan nasional yang tidak  berdasarkan Islam sepenuhnya dan masih pro-ideologi Barat, khususnya ideologi yang disampaikan Ali Abd al-Raziq  dan  Lutfi al-Sayyid, para murid Muhammad Abduh. Sementara nasionalisme religius (fundamentalisme) merupakan gerakan  nasional yang sama sekali menghilangkan unsur-unsur Barat di dalamnya dan  murni gerakan nasional agama Islam, seperti gerakan Sayyid Qutb.
Tokoh lainnya terlihat moderat-moderat saja. Hassan al-Banna (1906-49) menemukan cara mengubah pembaruan tokoh-tokoh di atas menjadi sebuah gerakan massa. Ia tahu bahwa Mesir membutuhkan sains dan teknologi Barat; bahwa Barat harus  dimodernisasi secara politik, sosial, dan ekonomi. Ini adalah masalah praktis yang  harus disertai dengan pembaruan rohani dan kejiwaan, yaitu kembali pada prinsip  al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam gerakannya al-Banna senantiasa menegaskan bahwa ia tidak memiliki niatan  untuk mengkudeta atau merebut kekuasaan. Tujuan utama alIkhwan al-Muslimun  adalah pendidikan. Menurutnya ketika rakyat telah menyerap pesan Islam dan  membiarkannya mengubah mereka, maka  Mesir menjadi negara yang Islami  tanpa  melalui kekerasan.
Banna tidak menghendakai al-Ikhwân al-Muslimun menjadi keras atau radikal, ia hanya sangat menaruh perhatian pada pembaruan fundamental masyarakat Muslim yang telah digerogoti penjajahan dan tercerabut dari akarnya.
Kelemahan al-Banna dalam memimpin al-Ikhwan al-Muslimun adalah tidak  mampu mengkordinir anggotanya yang begitu banyak.
Sehingga pada tahun 1943 muncul sempalan kelompok yang bernama “aparat  rahasia”  (al-hijaz  al-sirra) yang dianggap teroris oleh Karen Armstrong. Menurut Richard P. Mitchell, dijelaskan oleh Armstrong bahwa kelompok itu hanya  berjumlah sekitar seribu anggota dan anggota al-Ikhwan al-Muslimun tidak pernah  mendengar keberadaannya hingga hari ini. Barangkali kelompok ini adalah respons atas kebijakan Anwar Sadat yang mendirikan “perserikatan pembunuh” pada akhir  1940-an untuk menyerang Inggris dan politikus-politikus yang dianggap “berkomplot” dengan Inggris. 1948 anggota unit teroris “aparat  rahasia” memulai  kampanye teror yang berawal dengan pembunuhan Ahmed al-Khazinder, seorang  hakim.
Kemudian pada musim panas mereka melakukan serbuan ganas dan  pengeboman distrik Yahudi di Kairo dan puncaknya adalah pembunuhan perdana menteri Muhammad al-Nuqrasyi.
Al-Ikhwan  al-Muslimun yang tidak satu komando ini akhirnya berhasil dibubarkan pada tahun 1948 dengan sadis, tapi lahir kembali pada 1950 bertepatan pada masa  pemerintahan Jamal Abd  al-Nasser (1918-70) yang telah menggulingkan rezim lama dengan kudeta militer.
Rezim Nasser menganut paham sosialis dan sangat ingin membangun hubungan  dengan Soviet. Kebijakan luar negerinya adalah pan Arab dan menekankan  solidaritas Mesir dengan negara Asia dan Afrika. Nasser juga seorang sekularis yang teguh, tak satupun termasuk agama boleh dibiarkan  mengganggu  kepentingan nasional.
Awal-awal Nasser menyanjung al-Ikhwan al-Muslimun karena ia butuh mereka dalam hal retorika Islamnya. Namun kemudian retorika al-Ikhwan  al-Muslimun terlalu populis dan terkesan menyeleweng dari kehendak Nasser, pada akhirnya Nasser membubarkan al-Ikhwan  al-Muslimun pada 1954 dengan alasan bahwa mereka merencanakan revolusi tandingan.
Sekelompok al-Ikhwan al-Muslimun menjadi gerakan bawah tanah dan pemerintah  mulai mengumbar kampanye kotor yang menuduh alIkhwan al-Muslimun mempunyai senjata ilegal dan berkomplot dengan Inggris.
Tapi kemenganannya  atas al-Ikhwan al-Muslimun pada akhrinya terbukti sia-sia. Al-Ikhwan al-Muslimun yang tinggal di kamp-kamp selama hidup Nasser telah mengalami serangan sekularisme yang paling agresif.  Dengan demikian akan  terlihat bahwa di dalam kamp-kamp itulah beberapa al-Ikhwan al-Muslimun  meninggalkan visi reformis  al-Banna dan menciptakan fundamentalisme Sunni baru yang keras (fundamentalisme Islam Mesir). Tokoh utamanya  adalah  Sayyid Qutb.


3.  Faktor Kemuculan Islam Fundamentalis di Iran


Kalau Mesir berkeyakinan bahwa rahasia  keberhasilan Eropa adalah nasionalisme. Masyarakat Iran pada awal abad kedua puluh berpendapat bahwa rahasia ini adalah  pemerintahan yang konstitusional. Berbeda dengan ulama Mesir yang menarik diri secara defensif ke dalam dunia madrasah, para ulama Iran sering berada di garda  depan perubahan dan akan terus memiliki peran menentukan dalam peristiwa yang akan datang.
Pakar-pakar  lain  mengutarakan  bahwa  dalam  mempromosikan konstitusi yang akan membatasi kekuasaan para Syah, ulama yang lebih liberal memenuhi kewajiban Syi’ah kuno, yakni melawan tirani. Salah satu orang pertama yang  melihat bahaya sekularisasi  ini, negara berlandaskan konstitusi adalah Syaikh  Fadlullah Nuri (1843-1909), satu dari tiga tokoh agama terkemukan di Teheran yang mulai bergerak melawan konstitusi pada 1907;  ia mengatakan bahwa karena semua pemerintah tidak sah selama ketidakhadiran Imam Gaib, parlemen baru itu  tidak  islami. Nuri menuntut setidaknya majelis harus mendasarkan keputusan  pada  syari’at. Perlawanan paling mematikan terhadap  konstitusi  itu  bukan  dari  ulama,  melainkan dari Syah baru yang  dengan  bantuan  brigade Kosak Rusia, memimpin  kudeta yang berhasil pada tahun 1908  dan  membubarkan  majelis;  para pembaru Iran yang paling radikal dan ulama dieksekusi.
Di sisi lain Syah Reza Pahlevi pada saat jadi pemimpin tidak mempunyai  minat  dalam  pembaruan  sosial. Tidak ada keprihatinan terhadap orang miskin. Ia  hanya memperkuat tentara darat dan birokrasi, dan menjadikan Iran berfungsi lebih efektif. Reza mendekati Soviet dan Amerika untuk mengusir Inggris dengan  jaminan  minyak kepada Standard  Oil Company di  New Jersey. Maksud awal  Reza adalah membangun sebuah republik, tapi tidak disetujui olek beberapa kalangan sebab tidak sesuai dengan Islam dan tidak mau meniru Turki.
Reza  tidak  keberatan  menjadi  Syah dan masih mengmbil  hati  para agamawan.  Ia  berjanji  bahwa  pemerintahannya  akan  menghormati Islam  dan  bahwa  undang-undangnya tidak bertentangan dengan syara’at. Setelah itu didirikan dinasti Pahlevi, tapi kemudian saat Reza mampu melanggar janjinya kepada  ulama,  dan bukan saja menyamai Turki,  bahkan  melampaui  sekularisasi  Attartuk  dengan  tidak  kenal ampun.
Pada akhir dekade abad ke 20 sekularisme tampaknya menang. Tetapi  benih-benih yang telah ditebar selama tahun-tahun ini akan berakar ketika sejumlah  pembatasan  percobaan  sekularis  modern  ini menjadi nyata.
Jadi,  rakyat Iran juga mengalami serangan sekularis yang kejam oleh  Syah  Reza.  Rakyatnya selalu dipaksa untuk mengikuti budaya westernis.  Seperti inilah  yang  kemudian menyuburkan gerakan fundamentalis. Memang gerakan itu tidak  tumbuh selama periode ini tapi terjadi empat hal yang meramalkan perkembangan-perkembangan berikutnya.

0 comments: