Pasca runtuhnya kerajaan Mughal, India adalah negara yang
sama-sama mengalamipenyakit imperialisme, sebagai mana Mesir dan Iran. Inggris
telah menjajah India yang dihuni oleh
dua agama besar, yaitu agama Hindu dan Islam.
Dalam menyikapi penjajah ini dilakukuan berbagai gerakan yang untuk menetralisir keberadaan penjajah. Ada yang
menyikapinya dengan pro-Inggris dan ada pula yang kontra.
Sejak Inggris menguasai pemerintahan, kelompok Barelwis dan
ulama Farangi Mahall menerima pemerintahan Inggris. Namun di balik sikap pronya
terhadap Inggris, kelompok ini juga
mentransmisikan keyakinan dan praktik tradisional, termasuk penghormatan terhadap syari’at.
Respons berikutnya diterapkan oleh Aligarh dan Liga Muslim yang bergerak pada tataran
penyerapan sains Barat dan pembentukan
sebuah identitas politik Muslim yang modern. Respons terakhir ini yang kemudian
mengantarkan pada terbentuknya negara baru, Pakistan.
Di balik semua respons di atas, ada dinamika tersirat
dalam merespons pemerintahan asing. Respons terhadap pemerintahan asing ini
ditandai dengan peperangan tiga pihak, yaitu sesama Muslim, antara Islam dan
Hindu, dan antara Islam dan Inggris. Peperangan ini adalah proses tujuan jangka
panjang, yakni mengenai masa depan politik dan kultur India.
Berikutnya juga ada pemberontakan Muntiny (1857) oleh kalangan Muslim yang disebabkan oleh
akumulasi pemerintahan Inggris. Sayangnya pemberontakan ini mengalami kekalahan. Para pemberontak
ditumpas secara kejam sehingga tidak
mudah terlupakan.
Walaupun demikian pasca pemberontakan ini, ada tokoh terkenal
yang tetap memilih untuk menerima
pemerintahan Inggris. Tokoh tersebut adalah Sayyid Akhmad Khan. Ia masih berharap pemerintahan
Inggris agar bergaul secara baik dengan
bangsa India.
Sementara Sayyid Amir Ali hanyalah seorang apolog belaka yang
membela Islam dari isu-isu negatif baik dari luar ataupun dari dalam. Ia tidak
melakukan budaya tanding agresif terhadap
pemerintahan Inggris.
Tokoh popular berikutnya adalah Muhammad Iqbal. Ia adalah
seorang sosialis yang menganjurkan solidaritas. Ciri khas gerakannya adalah
evolusioner dan bukan revolusioner
sebagaimana dilakukan Mustafa Kemal.
Sementara ketika Muhammad Ali Jinnah menjabat sebagai pemimpin
Partai Liga Islam pada tahun 1934, anggaran dasar partainya dirubah dengan
corak yang lebih hidup dan demokratis.
Setelah ia menang
(1945) terhadap “pesta demokrasi” yang diadakan oleh Inggris pada saat itu Jemaat Islam tidak ikut
karena Inggris dianggap kafir. Ia mendeklarasikan berdirinya negara Pakistan.
Sayangnya Jemaat Islam menentang keras program Liga
Muslim, karena ia memandang Partai Liga
Muslim sebagai kolaborator dalam perencanaan Inggris untuk memecah belah bangsa
India dan menahan kemerdekaan India. Jemaat ini
juga menentang keras sekularisme tokoh-tokoh intelek yang ada dalam
partai tersebut. Mereka begitu meragukan
negara tersebut walaupun itu dinamakan negara Islam. Hal ini terlihat dari
pandangan Partai Liga Muslim yang
menganggap
keamanan politik Muslim India merupakan pertimbangan
utama, sedangkan mengenai konsep dan praktek merupakan permasalah yang
sekunder.
Proyek Pakistan terlihat program elit sekuler yang berasaskan
nasional demokrasi. Walaupun sama-sama beridentitas
Islam, tapi kali ini akan menjadi rival bagi Muslim fundamentalis.
0 comments:
Post a Comment