MENGENAL FILSAFAT
I. Pengertian Filsafat
"Apakah filsafat itu?" Sungguh ini merupakan pertanyaan yang
sederhana, bahkan sangat sederhana. Tapi, untuk memberikan jawaban yang dapat
memuaskan dan benar-benar menjawab pertanyaan tersebut, itu bukanlah perkara
yang mudah.
Ada yang mengira bahwa filsafat itu sesuatu yang kabur, serba rahasia,
mistis, aneh, tak berguna, tak bermetoda, atau hanya sekedar lelucon yang tak
bermakna atau omong kosong. Selain itu ada pula yang mengira bahwa filsafat itu
merupakan kombinasi dari astrologi, psikologi dan teologi. Filsafat bukanlah
semua itu.
Oxford Pocket Dictionary mengartikan filsafat sebagai use of reason and
argument in seeking truth and knowledge of reality. Sementara Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan filsafat sebagai:
1. pengetahuan dan penyedilikan dengan akal budi mengenai hakikat segala
yang ada, sebab, dan hukumnya;
2. teori yang mendasari
alam pikiran atau suatu kegiatan;
3. ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi;
4. falsafah.
Menurut Kamus Filsafat, filsafat merupakan (Bagus, 2000: 242):
1. Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik serta
lengkap tentang seluruh realitas.
2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar serta nyata.
3. Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan:
sumbernya, hakikatnya, keabsahannya, dan nilainya.
4. Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan
penyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan.
5. Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu manusia melihat apa yang
dikatakan dan untuk mengatakan apa yang dilihat.
Secara etimologi atau asal kata, kata "filsafat" berasal dari
sebuah kata dalam bahasa Yunani yang berbunyi philosophia. Kata philophia ini
merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata philos dan sophia. Kata philos
berarti kekasih atau sahabat, dan kata sophia yang berarti kearifan atau
kebijaksanaan, tetapi juga dapat diartikan sebagai pengetahuan. Jadi secara
etimologi,philosophia berarti kekasih/ sahabat kebijaksaan/ kearifan atau
kekasih/ sahabat pengetahuan.
Agar bisa menjadi kekasih atau sahabat, seseorang haruslah mengenal
dekat dan akrab dengan seseorang atau sesuatu yang ingin dijadikan kekasih atau
sahabat tersebut. Dan ini hanya bisa dilakukan apabila seseorang tersebut
senantiasa terus-menerus berupaya untuk mengenalnya secara dalam dan
menyeluruh. Dengan harapan bahwa upaya yang terus-menerus itu dapat membawa
seseorang atau sesuatu itu pada kedekatan yang akrab sehingga dapat
mengasihinya.
Seseorang yang melakukan aktivitas tersebut disebut filsuf. Filsuf
adalah seseorang yang mendalami filsafat dan berusaha memahami dan
menyelidikinya secara konsisten dan mendalam. Konsisten artinya bahwa seseorang
tersebut terus menerus menggeluti filsafat. Mendalam berarti bahwa ia
benar-benar berusaha mempelajari, memahami, menyelidiki, meneliti filsafat.
Tadi dikatakan bahwa filsafat adalah kekasih/ sahabat kebijaksaan/
kearifan atau kekasih/ sahabat pengetahuan, jadi karena ia merupakan kekasih/
sahabat kebijaksaan/ kearifan atau kekasih/ sahabat pengetahuan, maka filsafat
memiliki hasrat untuk selalu ingin dekat, ingin akrab, ingin mengasihi
kearifan/ kebjaksanaan/ pengetahuan. Tapi, kearifan/ kebijaksanaan/ pengetahuan
merupakan sesuatu yang sangat abstrak dan luas. Keabstrakan dan keluasan ini
menjadikan hasrat yang dimiliki filsafat tersebut tak mudah untuk dipuaskan
sepenuhnya. Ini menyebabkan filsafat terus-menerus melakukan usaha untuk
memenuhinya. Usaha yang terus menerus ini membuat filsafat, pada satu sisi,
dikenal tak lebih dari sebagai sebuah usaha atausuatu upaya.
Selain sebagai sebuah usaha atau suatu upaya, William James, seorang
filsuf dari Amerika, melihat bahwa berpikir juga merupakan sisi lain dari
filsafat. Menurutnya, filsafat adalah suatu upaya yang luar biasa hebat untuk
berpikir yang jelas dan terang. Artinya, bahwa segala upaya yang dilakukan oleh
filsafat tak dapat dilepaskan dari tujuannya untuk meraih kejelasan dan
keterangan dalam berpikir. Jadi, berpikir adalah sisi lain yang dimiliki
filsafat.
Ihwal pentingnya keberadaan berpikir dalam filsafat, Thomas Nagel dalam
Philosophy: Basic Reading mengatakan (1987: 3):
Philosophy is different from science and from mathematics. Unlike
science doesn't rely on experiments or observation, but only on thought. And
unlike mathematics it has no formal methods of proof. It is done just by asking
questions, arguing, trying out ideas and thinking of possible arguments against
them, and wondering how our concepts really work.
Bagi manusia, berpikir adalah hal yang sangat melekat. Manusia, merujuk
pada Aritoteles, adalah animal rationale atau mahluk berpikir. Tidak seperti
mahluk-mahluk lainnya, oleh Tuhan manusia diberi anugerah yang sangat istemewa
yakni akal. Dengan akal, manusia memiliki kemampuan untuk berpikir dan
mengatasi dan memecahkan segala permasalahan yang dihadapinya pikirannya.
Karena filsafat mengandaikan adanya kerja pikiran, maka sifat pertama yang
terdapat dalam berpikir secara filsafat adalah rasional.
Rasional berarti bahwa segala yang dipikirkannya berpusar pada akal.
Tapi, tidak semua aktivitas berpikir manusia dapat dikatakan berpikir secara
filsafat. Untuk dapat dikatakan bahwa satu aktivitas berpikir itu merupakan
berpikir secara filsafat, aktivitas berpikir itu haruslah bersifat metodis.
Secara umum, berpikir metodis berarti berpikir dengan cara tertentu yang
teratur. Dalam membeberkan pikiran-pikirannya, filsafat senantiasa menggunakan
cara tertentu yang teratur. Keteraturan ini membuat pikiran-pikiran yang
dibeberkan oleh filsafat menjadi jelas dan terang. Tapi agar cara tertentu itu
dapat teratur, filsafat membutuhkan faktor lain, yakni sistem.
Sebagai sebuah sistem, filsafat suatu susunan teratur berpola yang
membentuk suatu keseluruhan. Ia terdiri dari unsur-unsur atau komponen-komponen
yang secara teratur menurut pola tertentu, dan membentuk satu kesatuan. Adanya
sistem membuat satu cara berpikir tertentu yang teratur tetap pada
keteraturannya. Oleh karena itu, selain berpikir metodis filsafat juga memiliki
sifat berpikir sistematis
Berpikir secara sistematis memiliki pengertian, bahwa aktivitas berpikir
tersebut haruslah mengikuti cara tertentu yang teratur, yang dilakukan menurut
satu aturan tertentu, runtut dan bertahap, serta hasilnya dituliskan mengikuti
satu aturan tertentu pula tersusun menurut satu pola yang tidak tersusun secara
acak atau sembarangan. Jadi, agar dapat dikatakan bahwa seseorang tersebut
sedang berpikir secara filsafat, ia haruslah berpikir menurut atau mengikuti
satu aturan tertentu yang runut dan bertahap dan tidak acak atau sembarangan.
Sistematis mengandaikan adanya keruntutan. Jadi, berpikir filsafat atau
berpikir filsafati juga memiliki sifat runtut ataukoheren. Koheren berarti
bertalian. Ia merupakan kesesuaian yang logis. Dalam koherensi, hubungan yang
terjadi karena adanya gagasan yang sama. Pada berpikir filsafat, koherensi
berarti tidak adanya loncatan-loncatan, kekacauan-kekacauan, dan berbagai
kontradiksi. Dalam koherensi, tidak boleh ada pernyataan-pernyataan yang saling
bertentangan. Contoh:
Hujan turun
Tidak benar bahwa hujan turun
Pernyataan yang pertama yang berbunyi "Hujan turun"
bertentangan dengan pernyataan yang kedua, "Tidak benar bahwa hujan
turun,", begitu juga sebaliknya. Dalam berpikir secara koherensi hal ini
tidak dibenarkan. Karena kedua pernyataan ini saling bertentangan. Jadi, dalam
berpikir secara koherensi, pernyataan-pernyataan yang ada haruslah saling
mendukung.
Agar dapat memperoleh pernyataan-pernyataan yang mendukung, filasafat
haruslah mencari, mendapatkan, memeriksa, ataupun menyelidiki keseluruhan
pernyataan yang ada. Filsafat berusaha memberikan penjelasan tentang dunia
seluruhnya, termasuk dirinya sendiri. Usaha ini membawa filsafat pada
penyelidikan terhadap keseluruhan. Jadi, sifat berpikir filsafat yang
berikutnya adalah keseluruhan atau komprehensif dalam artian bahwa segala
sesuatu berada dalam jangkauannya.
Tadi dikatakan bahwa berpikir filsafat memiliki sifat koherensi, maka
agar koherensi dapat terjadi, seorang filsuf atau seseorang yang sedang
mempelajari dan mendalami filsafat haruslah mampu memahami dan memilah
pernyataan-pernyataan yang ada. Agar dapat mencapai hal tersebut, dibutuhkan
apa yang dinamakan berpikir kritis Jadi, kritis adalah sifat berpikir filsafat
yang berikutnya.
Kritis dapat dipahami dalam artian bahwa tidak menerima sesuatu begitu
saja. Secara spesifik, berpikir kritis secara filsafat adalah berpikir secara
terbuka terhadap segala kemungkinan, dialektis, tidak membakukan dan membekukan
pikiran-pikiran yang ada, dan selalu hati-hati serta waspada terhadap berbagai
kemungkinan kebekuan pikiran.
Untuk mencapai berpikir kritis, hal yang harus dilakukan adalah berpikir
secara skeptis. Skeptis berbeda dengan sinis. Skeptis adalah sikap untuk selalu
mempertanyakan segala sesuatu, meragukan apa yang diterima, dan mewaspadai
segala kepastian agar tidak mudah ditipu. Sedangkan sinis adalah sikap yang
berdasar pada ketidakpercayaan. Secara metaforis, sikap sinis dapat digambarkan
seperti seorang laki-laki di tengah perempuan-perempuan cantik, tapi dia malah
mencari seekor kambing yang paling buruk. Jadi, pada intinya, sikap skpetis itu
adalah meragukan, sementara sikap sinis adalah ketidakpercayaan.
Tadi telah dipaparkan di atas, bahwa filsafat berusaha memberikan
penjelasan tentang dunia seluruhnya, termasuk dirinya sendiri. Agar dapat
meraih hal tersebut, filsafat harus menemukan radix (akar) dunia seluruhnya
tersebut. Jadi berpikir radikaladalah sifat berpikir filsafat yang berikutnya.
Usaha menemukan akar
dunia seluruhnya ini sangat diperlukan. Karena dengan penemuan akarnya,
diharapkan, setiap persoalan ataupun permasalahan-permasalahan yang bertumbuhan
di atasnya dapat disingkap. Untuk dapat menemukan akar tersebut, seorang filsuf
atau seseorang yang sedang mempelajari dan mendalami filsafat perlu untuk
berpikir secara radikal. Berpikir radikal merupakan cara berpikir yang tidak
pernah terpaku hanya pada satu fenomena suatu entitas tertentu, dan tidak
pernah berhenti hanya pada satu wujud tertentu.
Sampai di sini, kiranya,
kita telah mengetahui mengapa filsafat itu bukan sesuatu yang kabur, serba
rahasia, mistis, aneh, tak berguna, tak bermetoda, atau hanya sekedar lelucon
yang tak bermakna atau omong kosong.
II. Objek Filsafat
Setiap ilmu pengetahuan
memiliki objek tertentu yang menjadi lapangan penyelidikan atau lapangan
studinya. Objek ini diperoleh melalui pendekatan atau cara pandang, metode, dan
sistem tertentu. Adanya objek menjadikan setiap ilmu pengetahuan berbeda antara
satu dengan lainnya. Objek ilmu pengetahuan terdiri dari objek materi dan objek
forma.
Objek materi adalah
sasaran material suatu penyelidikan, pemikiran atau penelitian keilmuan. Ia
bisa berupa apa saja, baik apakah itu benda-benda material ataupun benda-benda
non material. Ia tidak terbatas pada apakah hanya ada di dalam kenyataan
konkret, seperti manusia ataupun alam semesta, ataukah hanya di dalam realitas
abstrak, seperti Tuhan atau sesuatu yang bersifat Ilahiah lainnya. Sementara
objek forma adalah cara pandang tertentu, atau sudut pandang tertentu yang
dimiliki serta yang menentukan satu macam ilmu.
Seperti halnya ilmu
pengetahuan pada umumnya, filsafat juga memiliki objek yang menjadi lapangan
penyelidikan atau lapangan studinya yang terdiri dari objek materia dan objek
forma.
Bagi Plato (+ 427-347 SM)
filsafat adalah penyelidikan tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling
akhir dari segala sesuatu yang ada. Sementara bagi Aritoteles (+ 384-322 SM), filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang berupaya mempelajari "peri ada selaku ada" (being as
being) atau "peri ada sebagaimana adanya" (being as such). Dari dua
pernyataan tersebut, dapatlah diketahui bahwa "ada" merupakan objek
materia dari filsafat. Karena filsafat berusaha memberikan penjelasan tentang
dunia seluruhnya, termasuk dirinya sendiri, maka "ada" di sini
meliputi segala sesuatu yang ada dan, bahkan, yang mungkin ada atau seluruh ada.
Penempatan segala sesuatu yang ada dan, bahkan, yang mugkin ada atau
seluruh ada sebagai objek materia dari filsafat, membuat filsafat berbeda
dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, seperti sastra, bahasa, politik,
sosiologi, dsb. Jika ilmu-ilmu pengetahuan lainnya hanya menempatkan satu
bidang dari kenyataan sebagai objek materianya, filsafat, karena berusaha memberikan
penjelasan tentang dunia seluruhnya, termasuk dirinya sendiri, menempatkan
seluruh kenyataan sebagai objek materia studinya. Jadi, secara singkat dapat
dikatakan, jika filsafat itu bersifat holistik atau keseluruhan, sementara ilmu
pengetahuan lainnya bersifat fragmental atau bagian-bagian.
Tadi telah dipaparkan bahwa filsafat adalah penyelidikan tentang
sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada, maka
untuk mencapai hal tersebut filsafat senantiasa berusaha mencari keterangan
yang sedalam-dalamnya atas segala sesuatu. Jadi, mencari keterangan
sedalam-dalamnya merupakan objek forma dari filsafat.
III. Metode Filsafat
Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan dari
kenyataan. Untuk mendapatkan hal tersebut, filsafat memiliki beberapa metode
penalaran. Pertama, metode penalaran deduksi. Secara sederhana, metode ini
dapat dikatakan satu metode penalaran yang bergerak dari sesuatu yang bersifat
umum kepada yang khusus. Dalam pengertiannya yang lebih spesifik, ia adalah
proses berpikir yang bertolak dari prinsip-prinsip, hukum-hukum,
putusan-putusan yang berlaku umum untuk suatu hal/ gejala atau prinsip umum
tersebut ditarik kesimpulan tentang sesuatu yang khusus yang merupakan bagian
hal/ gejala umum.. Secara sederhana, deduksi dapat dicontohkan sbb:
Semua manusia adalah fana
Presiden adalah manusia
Presiden adalah fana
Selain deduksi, filsafat juga menggunakan metode penalaran induksi.
Secara sederhana, metode ini dapat dikatakan satu metode penalaran yang bergerak
dari sesuatu yang bersifat khusus kepada yang umum. Ia adalah proses berpikir
yang bertolak dari satu atau sejumlah fenomena/ gejala individual untuk
menurunkan suatu kesimpulan yang berlaku umum. Secara sederhana, metode ini
dapat dicontohkan sbb:
Amin adalah murid sekolah dasar
Amin adalah manusia
Semua murid sekolah dasar adalah manusia
Metode ketiga yang dimiliki filsafat adalah metode penalaran dialektika.
Secara umum, metode ini dapat dipahami sebagai cara berpikir yang dalam
usahanya memperoleh kesimpulan bersandar pada tiga hal, yakni: tesis, antitesis
dan sintetis yang merupakan hasil gabungan dari tesis dan antitesis. Contoh
sederhana untuk metode penalaran ini adalah Keluarga. Dalam satu keluarga
biasanya terdapat ayah, ibu, dan anak. Jika ayah adalah tesis, maka ibu adalah
antitesis, lantas anak merupakan sintesis karena keberadaannya ditentukan ayah
dan ibu. Begitu juga apabila ibu adalah tesis, maka ayah adalah antitesis, dan
anak adalah sintesis.
IV. Peranan dan Tujuan Filsafat
Tadi telah dipaparkan bahwa filsafat merupakan suatu upaya berpikir yang
jelas dan terang tentang seluruh kenyataan. Upaya ini, bagi manusia,
menghasilkan beberapa peranan. Pertama, filsafat berperan sebagai pendobrak.
Artinya, bahwa filsafat mendobrak keterkungkungan pikiran manusia. Dengan
mempelajari dan mendalami filsafat, manusia dapat menghancurkan kebekuan,
kebakuan, bahkan keterkungkungan pikirannya dengan kembali mempertanyakan
segala.
Pendobrakan ini membuat manusia bebas dari kebekuan, kebakuan, dan
keterkungkungan. Jadi, bagi manusia, filsafat juga memiliki peranan sebagai
pembebas pikiran manusia. Maka, pembebas merupakan peranan kedua yang dimiliki
filsafat bagi manusia.
Pembebasan ini membimbing manusia untuk berpikir lebih jauh, lebih
mendalam, lebih kritis terhadap segala hal sehingga manusia bisa mendapatkan
kejelasan dan keterangan atas seluruh kenyataan. Jadi, peranan ketiga yang
dimiliki oleh filsafat bagi manusia adalah sebagai pembimbing.
Selain memiliki peranan bagi manusia, filsafat juga berperan bagi ilmu
pengetahuan umumnya. Menurut Descartes (1596-1650), filsafat adalah himpunan dari
segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam dan
manusia. Ia, merujuk pada Kant (1724-1804), adalah ilmu pengetahuan yang
menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan. Jadi, merujuk pada dua
penrnyataan tersebut, dapat dapat disimpulkan bahwa bagi ilmu pengetahuan,
filsafat, memiliki peranan sebagai penghimpun pengetahuan.
Memahami perannya sebagai penghimpun, maka filsafat dapat dikatakan
merupakan induk segala ilmu pengetahuan atau mater scientiarum. Bagi Bacon (1561-1626,
filsafat adalah induk agung dari ilmu-ilmu. Ia menangani semua pengetahuan.
Selain sebagai induk yang menghimpun semua pengetahuan, bagi ilmu
pengetahuan filsafat juga memiliki peranan lain, yakni sebagai pembantu ilmu
pengetahun.
Bagi Bertrand Russell (1872-1970), filsafat adalah sebuah wilayah tak
bertuan di antara ilmu pengetahuan dan teknologi, yang memiliki kemungkinan
untuk menyerang keduanya. Karena terdapat kemungkinan ini dalam filsafat, maka,
menurutnya, filsafat dapat memeriksa secara kritis asas-asas yang dipakai dalam
ilmu dan kehidupan sehari-hari, dan mencarisuatu ketidakselarasan yang dapat
terkandung di dalam asas-asas tersebut. Secara sederhana, paparan Bertrand
Russell tersebut dapat dipahami bahwa bagi pengetahuan, filsafat juga memiliki
peranan sebagai pembantu pengetahuan. Sejalan dengan hal tersebut, Schlick,
seorang filsuf Wina, pernah menyatakan bahwa tugas ilmu adalah untuk mencapai
pengetahuan tentang realitas; dan pencapaian ilmu yang sebenarnya tidak pernah
dapat dihancurkan atau diubah oleh filsafat, tapi filsafat dapat menafsirkan
pencapaian-pencapaian tersebut secara benar, dan untuk menunjukkan maknanya
yang terdalam.
Dalam menjalankan peranannya tersebut, filsafat memiliki tujuan. Menurut
Plato, filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang
asli dan murni. Jadi secara umum, tujuan filsafat adalah meraih kebenaran.
Dengan harapan kebenaran ini dapat membawa manusia kepada pemahaman, dan
pemahaman membawa manusia kepada tindakan yang lebih layak. Tapi, janganlah
dianggap bahwa kebenaran yang berusaha diraih filsafat adalah sama dengan
kebenaran yang diraih agama.
Tidak seperti agama yang menyandarkan diri dan mengajarkan kepatuhan,
filsafat menyandarkan diri dan mengandalkan kemampuan berpikir kritis. Kondisi
berpikir kritis ini sering tampil dalam perilaku meragukan, mempertanyakan, dan
membongkar sampai ke akar-akarnya. Kebenaran yang oleh agama wajib diterima,
dalam filsafat senantiasa diragukan, dipertanyakan dan dibongkar sampai ke
akar-akarnya untuk kemudian dikonstruksi menjadi pemikiran baru yang lebih
masuk akal. Maka, tak heran, apabila kebenaran yang ditawarkan filsafat
dipahami sebagai kebenaran yang logis.
0 comments:
Post a Comment